Senin, 03 Mei 2010

SILENCE OF THE HEART

Sebenarnya ini cerpen yang saya posting di-FB saya. Tapi karena ada request buat di posting di blog, jadi saya posting...

=======================================================

Seraut wajah pucat itu muncul di hadapanku. Dia jangkung dan berpembawaan kikuk. Tubuhnya sedikit bergetar, napasnya pendek-pendek saja seperti orang yang terkena asma, dan mukanya pias menunduk melihatku. Bibirnya bergerak-gerak kecil ingin mengucapkan sesuatu. Aku mendongak untuk melihat sepasang mata sayunya menatap lurus padaku. Terpaksa aku harus menunda menyalin catatan biologi milik Tyas. Aku berdiri dari dudukku lalu mengajaknya ke luar kelas menuju lapangan basket yang sudah tak terpakai di belakang sekolah. Lapangan basket tua itu telah dilupakan oleh seluruh warga sekolah sejak dua tahun belakangan setelah yayasan membuat lapangan basket baru yang lebih layak untuk tim basket yang berhasil menjadi juara tingkat propinsi.

Lantai lapangan basket terlupakan itu telah retak sana-sini. Tiang-tiangnya pun telah lama karatan terkena asamnya air hujan selama sepuluh tahun didirikan. Rumput-rumput teki yang liar dan mudah tumbuh itu, memenuhi sela-sela lantainya yaang retak. Barisan pohon kemang meneduhhi tempat itu, menjadikannya tempat favorit untuk berleha-leha dan menyantaikan diri sejenak oleh para murid.

Kami duduk termangu di bawah sebatang pohon kemang yang sedang berbuah. Lima menit kami di sini dan dia masih diam saja. Aku sengaja mengajaknya ke tempat ini agar dia bisa berbicara, karena aku tahu dia benci keramaian. Tapi sejak tadi dia hanya komat-kamit sendiri tak jelas suaranya. Aku mulai naik darah karena dia tak juga berbicara.

“Katakan apa yang ingin kaukatakan sekarang!” bentakku kesal. “Bel masuk sebentar lagi. Aku tak ingin terlambat masuk kelas matematika setelah ini. Jika aku telat lagi kali ini, aku tidak diijinkan mengikuti pelajaran itu selama dua minngu. Walaupun dua minggu itu tidak lama, tapi kau tahu, kan, hampir tiap hari di kelasku ada pelajaran matematika? Kalau kau mau tahu empat belas jam seminggu,” keluhku panjang lebar.

Theo, nama orang berwajah pucat di sebelahku, hanya mendesah panjang seolah ingin mengeluarkan seluruh bebannya. Sejurus kemudian ia angkat bicara. Suaranya berat dan agak serak.

“Aku tak tahu lagi bagaimana cara untuk menaklukan hati perempuan itu,” ucapnya kelu.

Perempuan itu pastilah Maura, orang yang yang sedang digilainya setengah tahun ini.

“Aku sudah mencoba cara-cara yang kau sarankan, tapi tak satupun yang berhasil. Kemarin aku telah mencoba cara yang terakhir kali kaukatakan. Berjam-jam aku berdiri di depan rumahnya, memainkan gitar dan bernyanyi hingga mulutku berbusa ditambah hujan deras mengguyur dari sore hingga malam.”

Sangat jelas di wajah pucatnya kekecewaan yang mendalam. Sesungguhnya aku tidak pernah menyukai jika Theo terus menyebutkan nama Maura.

“Dan kau tahu, Maura sama sekali tak mengacuhkanku. Dia malah membanting pintu rapat-rapat di depan hidungku,” lanjutnya.

Ah, Theo, apa kau begitu terbutakan oleh cinta absurdmu pada Maura? Apa kau begitu silau dengan Maura hingga tak melihat ada begitu besar cinta yang nyata di depan matamu? Hatiku benar-benar ingin menjerit sejadi-jadinya. Perih terasa di uluku. Ternyata cinta yang paling menyakitkan adalah cinta yang tak terungkapkan.

“Kau harus bersemangat terus! Jangan menyerah….”

Aku berusaha menyemangatinya meski rasanya seperti menelan obat paling pahit. Aku mencoba tersenyum dan mengatakan semua pasti akan baik-baik saja. Mungkin Maura saat ini hanya belum siap menerima seorang laki-laki ada di hidupnya. Sungguh aku merasa diriku ini manusia paling munafik seluruh dunia. Bagaimana aku bisa mengatakan hal yang sebenarnya tak ingin kukatakan, hal yang sangat bertentangan dengan hatiku?

Jauh di lubuk hatiku, aku benar-benar ingin memiliki hati Theo. Walaupun ada pepatah lama yang mengatakan bahwa cinta tak harus memiliki, tapi aku tak pernah setuju sepenuhnya akan hal itu. Lalu, apakah dayaku? Aku ingin menjadi matahari untuknya, ingin menjaganya, ingin mengasihinya tanpa pamrih, karena itu adalah makna cinta yang sesungguhnya. Namun, bagaiman aku bisa menjadi matahari untuknya. Sinarku tak terang, bahkan aku juga butuh matahari lain untuk tetap bersinar.

“Chrys…” suara Theo terdengar memanggil namaku dengan bergetar.

Belum sempat aku menoleh padanya, aku merasakan ada sesuatu yang terjatuh ke pundakku. Napas hangat terputus-putus terasa di leherku dan telapak tangan yang tak kalah hangat juga menyentuh tanganku. Theo telah setengah pingsan, badannya terasa panas. Panik, aku langsung mempahnya ke UKS sembari memanggil petugas kesehatan. Keadaannya benar-benar mengkhawatirkan. Badannya panas, tapi tubuhnya menggigil. Aku terus berdoa agar dia tidak kejang-kejang karena suhu badannya yang tinggi. Aku tahu Theo memiliki badan lemah sejak kecil dan aku masih saat-saat bagaimana dia kejang. Badannya kaku, tangannya mengepal, gigi-giginya tertangkup rapat dan bibirnya akan tampak sangat biru. Benar-benar pemandangan yang menakutkan saat itu.

===

Esoknya, aku mendatangi sekolah Maura. Ingin sekali aku mendampratnya karena telah membuat Theo-ku berhujan-hujan hingga sekarang dia terbaring di rumah sakit. Ingin sekali kukatakan padanya agar jangan terus menyiksa Theo seperti ini. Aku tidak pernah melihatnya berjuang sekeras ini untuk meraih apa yang diinginkannya. Tak pernah, sekalipun tak pernah aku melihatnya menginginkan sesuatu seperti ini sejak aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu. Dia bahkan sejak berumur enam tahun tak pernah meminta atapun mengiinginkan apapun saat anak-anak lain seusianya selalu merengek meminta ini-itu pada orang tuanya.

Itu dia Maura. Perempuan berambut ikal panjang kecoklatan dan berparas rupawan itu telah keluar dari mobil antarannya. Cara berjalannya yang anggun itu justru membuatku muak. Sebelum dia masuk halaman sekolahnya, aku sudah mencegatnya terlebih dahulu. Maura tampat kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba.

“Kau?!” ucapnya terkejut sembari menunjuk hidungku. “Kenapa kau ada di sini?”

Ada nada tidak senang di setiap kata-katanya itu. Aku sengaja tak menjawab dan malah menatapnya tajam.

“Kemana temanmu yang sok romantis itu?” tanyanya sarkastis.

“Tumben tidak kelihatan batang hidungnya yang biasa sudah muncul pagi-pagi seperti penampakan saja,” lanjutnya.

Kata-katanya kini benar-benar menyakitkan hatiku.

“Oh, ya, sekalian saja nanti kau bilang padanya supaya jangan me—“

“Stop!” potongku cepat. “Jangan menghina dan mempermainkan hatinya lagi! Asal kau tahu, seumur hidupnya Theo tidak pernah menginginkan sesuatu. Hanya dirimu. Cuma kau yang diinginkannya, tidak ada hal yang lain yang dia minta sejak kecil kecuali hatimu terbuka untuknya.”

Maura mengangkat sebelah alisnya. Kaget karena mendengar kalimat terpanjangku yang pernah didengarnya. Aku yang selama ini dikenalnya pendiam, tak disangkanya bisa penuh emosi saat mengucapakan sesuatu.

“Apa kau tidak pernah sedikitpun melihat perjuangannya selama ini? Dia yang bahkan rela menggadaikan jiwanya pada setan jika kau menginginkannya. Apa kau benar-benar telah buta, hingga tidak lagi melihat begitu banyak cinta di matanya?”

Kali ini dadaku benar-benar terasa sesak. Napasku tertahan, tenggorokanku tecekat. Mataku terasa panas. Aku benar-benar ingin menangis tapi berusaha kutahan, meski rasanya benar-benar tercekik.

“Asal kau tahu, aku sebenarnya sangat iri padamu. Mata Theo yang penuh cinta itu hanya untukmu, perempuan yang sama sekali tak mengacuhkannya. Aku iri karena ruang cinta di hatinya tak lagi tersisa untukku meski hanya sejengkal. Di helaan napasnya ada dirimu, bahkan igauannya saat tertidur adalah namamu.”

Aku benar-benar tak bias menahan air mataku lagi. Bebaslah tetes-tetes hangat itu mengalir. Tak tahan dengan isakanku, aku berbalik arah dan menjauhi Maura. Perempuan cantik itu hanya dapat berdiri di tempatnya. Tertegun mendengar kalimat terpanjang yang pernah ku ucapkan. Aku berlari menjauh. Berlari menjauhi kenyataan pahit itu.

===

t'lah kunyanyikan alunan-alunan senduku
t'lah kubisikan cerita-cerita gelapku
t'lah kuabaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu


"Chrys..." sayup-sayup aku mendengar suara memanggilku.

Aku yang setengah tertidurpun langsung terbangun. Pandanganku mendapati Theo masih terbaring di ranjang putihnya. Dia tersenyum tipis. Wajahnya masih pucat, tapi seteduh biasanya. Punggung tangan kirinya tertancap jarum infus yang terus mengalirkan cairan ke tubuhnya yang layu itu. Jari-jarinya bergerak-gerak kecil memberi isyarat agar aku mendekat. Kulepaskan headphone yang terpasang di telingaku, beranjak dari sofa dan menarik kursi dari bawah ranjangnya. Aku hapus sisa air mata yang menggenang di sudut mataku.

"Kenapa kau menangis?" tanya Theo lemah.

Aku hanya diam saja dan terus berusaha agar Theo tak curiga aku habis menangis. Tapi seperti biasa itu percuma saja. Sebab dia selalu tahu jika aku berusaha berbohong dan menutupi-nutupi sesuatu. Selalu saja begitu sejak dulu. Bahkan, mungkin dia tahu tentang perasaanku yang sebenarnya padanya. Atau mungkin dia sama sekali tak tahu karena dia telah terbiasa denganku selama bertahun-tahun.

"Kau mencemaskanku?" tanyanya lagi.

Tak ada jawaban dariku. Aku hanya bisa diam dan menunduk. Dia pasti langsung tahu diamku adalah iya. Sejurus kemudian, Theo mengulurkan tangannya dan mengacak rambutku.

"Aku baik-baik saja." Senyuman itu tak terlepas dari bibirnya yang juga pucat.

"Bisakah kau hentikan kegilaan ini?" ucapku dan langsung menepis tangannya dari kepalaku.

Theo terkejut. Kedua alisnya bertemu, tanda dia tak mengerti.

"Bisakah kau melupakan semua tentang Maura...?" Aku berdiri dari dudukku dan mundur selangkah. " Lupakan semua tentang Maura! Kau tahu dia tak pernah mengacuhkanmu sedikitpun! Dia tidak akan pernah bisa mencintaimu seperti kau mencintainya!"

Emosiku tak bisa kukendalikan lagi. Aku bahkan sudah tidak peduli lagi bahwa ini adalah rumah sakit. Biar saja, aku benar-benar tak peduli.

"Ada apa denganmu, Chrys? Bukankah kau selalu mendukungku selama ini?" tanya Theo tak habis pikir dengan perubahan sikapku yang drastis ini.

Dulu aku mendukungmu karena aku ingin melihatmu bahagia. Tapi setelah enam bulan terakhir ini terus-terusan melihatmu menderita karena Maura, aku benar-benar telah muak. Sudah cukup pengorbananmu untuk Maura. Hitung berapa kali kau telah masuk rumah sakit karena dia.

"Aku tidak ingin melihatmu terus tersakiti seperti ini. Sudah cukup, Theo! Lupakan dia! Dia tidak akan melirikmu karena kau adalah laki-laki berpenyakitan yang sudah ngos-ngosan meski hanya berlari lima puluh meter!!!"

Theo mengangkat alisnya dan bola mata coklat yang indah itu membulat. Tampak jelas di raut wajahnya dia ingin marah, ingin membentakku. Bibirnya bergetar ingin menghujatkan serapah, namun ia pasti sadar apa yang kukatakan adalah benar. Dia memalingkan wajahnya, tak ingin melihatku. Matanya menerawang ke luar jendela. Entah apa yang dipikirkannya.

"Maura tidak mencintaimu. Jangan berharap padanya lagi..." ujarku pelan.

Kuambil tas sekolahku dan beranjak pergi. Mata Theo yang menerawang menandakan ia butuh waktu untuk sendiri, untuk berpikir. Bertahun aku mengenalnya, aku telah paham akan bahasa tubuhnya. Dia tak butuh banyak bicara padaku karena dengan melihat gerak-geriknya aku sudah tahu apa yang ada dipikirannya.

Langit telah melukiskan jingga saat aku melangkahkan kaki keluar rumah sakit. Matahari hampir mencapai horison barat dan sinarnya mulai redup. Udara panas siang tadi berubah sejuk terbuai angin sore. Koloni kelelawar membentuk formasi hitam besar di sudut langit barat sana. Aku berjalan gontai tanpa semangat dan menyetop sebuah bis yang telah penuh sesak. Tanpa gairah, kunaikan kaki ke dalam bis yang langsung tancap gas begitu aku menginjak lantainya. Dengan kecepatan tinggi bis melaju menjauhi rumah sakit, membawaku dengan sejuta perasaan sakit, muak, dan penyesalan atas kata-kata kasarku pada Theo beberapa menit lalu.

===

Hampir seminggu aku tak bertemu Theo. Sengaja aku tak menghubunginya. Bukannnya aku takut dan menyesal karena kata-kata kasarku tempo hari. Tapi saat dia ingin sendiri, dia benar-benar ingin sendiri. Selalu butuh waktu paling tidak seminggu untuk mendiamkannya di saat-saat seperti ini. Saat seminggu sudah lewat aku langsung menghubunginya. Menanyakan kabar dan mengajaknya keluar makan atau sekedar berjalan-jalan saja di taman. Tapi hari ini aku terkejut saat Theo menelponku dan menyuruhku pergi ke rumahnya setelah pulang sekolah nanti. Bukan hal yang biasa dia menelponku terlebih dahulu. Dari nada suaranya terdengar dia sudah baik-baik saja.

Sorenya aku bertandang ke rumahnya yang tak terlalu jauh itu. Rumah Theo bergaya art deco bercat putih pucat. Halamannya rindang diteduhi berbagai jenis pohon mangga dan belimbing. Rumputnya amat hijau. Bunga bakung, mawar liar, anthurium, morning glory dan poinsettia dengan daun berwarna merah itu terjajar rapi. Lalu di samping rumah, di bawah jendela besar kamar Theo ada serumpun chrysanthemum berbagai jenis dan warna. Aku masih ingat dulu Theo menanam bunga itu sendiri. Dia bilang karena namaku sama seperti nama bunga itu, dia ingin menanamnya.

"Sedang apa kau?" tanyaku saat memergokinya sedang menggali tanah di bawah jendela kamarnya.

"Aku ingin menanam ini," jawabnya sembari menyodorkan bibit dalam bungkusan plastik yang di pegangnya.

"Bibit apa itu?"

Aku ikut berjongkok di sebelahnya.

"Ini bibit bunga krisan. Seruni nama lokalnya, chrysanthemum nama bulenya," jelasnya.

"Chrysanthemum? Itu, kan, namaku." Aku melonjak hampir berjingkat.

"Iya. Aku ingin menanamnya karena bunga krisan mirip denganmu."

Lamunanku buyar karena dikejutkan oleh sebuah tepukan halus di pundakku. Theo telah berada di sampingku. Wajahnya terlihat lebih bugar dari yang terakhir kali kulihat. Senyum tersimpul di sudut bibirnya yang tipis. Dia mengenakan kaos merah dengan celana krem selutut yang sesuai dengan warna kulitnya.

"Krisan..." desisnya pelan. "Bunga ynag kita tanam saat SMP dulu."

Aku hanya mengangguk. Krisan-krisan ini semakin bertambah banyak dan tinggi. Saat itu di hari kami bersama-sama menanamnya, saat melihat keringat bercucuran di dahinya, saat dia amat bersemangat memasukan bibit-bibit krisan itu ke dalam tanah, saat dia mengucapkan akan merawat dan menjaga krisan itu hingga tumbuh dan berbunga, saat itulah pertama kali jantungku berdetak lebih cepat saat bersamanya. Untuk pertama kalinya wajahku bersemu karena jatuh cinta.

"Setelah krisan ini tumbuh, aku pasti akan menyayanginya seperti aku menyayangimu, Chrys..." janjinya setelah selesai menanamnya dan memandangi gundukan tanah itu dengan wajah puas.

Entah sekarang dia masih ingat atau tidak dengan janji itu. Aku menoleh memandangi wajah tirusnya. Theo, ingatkah kau dengan janjimu akan menyayangiku seperti krisan-krisan ini? Lupakah kau dengan janji itu sampai-sampai kau tak pernah sadar kau terus menikam hatiku dengan cintamu yang terlampau besar untuk Maura. Cintaku memang bukan seperti mawar yang indah dan terus diperebutkan, tapi sangat berduri. Cintaku layaknya krisan yang sederhana, yang mungkin tak seindah mawar hingga tak begitu diperhatikan. Itulah cintaku yang sederhana untukmu. Cintaku yang bisu, yang sering kauabaikan. Bisakah kau membaca cinta dalam diamku?

Aku tersentak saat tiba-tiba Theo meraih tanganku, menggenggamnya dengan erat dan menariknya. Dia mengajakku ke taman yang sunyi. Di bangku kayu tua di pinggir danau, di bawah pohon pinus yang mengeluarkan bunyi gemerisik daun-daun jarumnya yang tertiup angin, di sinilah kami duduk. Dia masih menggenggam tanganku.

"Kau benar," katanya memulai pembicaraan.

Aku hanya menyimak.

"Aku harus melupakan Maura. Dia tak pernah mencintaiku dan aku juga sudah lelah terus tersakiti olehnya. Dia takkan pernah melirik laki-laki berpenyakitan sepertiku yang bahkan untuk menjaga dirinya saja tak sanggup." Wajahnya datar saat mengucapkan hal itu, tetapi desahan suaranya terdenrag getir.

"Maura lebih pantas bersama orang yang bisa menjaganya sepanjang waktu. Aku takkan mampu menjaga mawar itu karena aku cuma seekor siput kebun yang beranagn menjadi seekor kumbang."

Matanya berkaca-kaca. Aku tahu dia sekuat tenaga menahan tangisnya. Meskipun badannya lemah, dia anti menunjukan kelemahan itu pada orang lain. Bahkan di depanku sekalipun.

"Aku harus melupakannya," putusnya yakin.

Dia menoleh padaku dan menatapku dengan mata coklat indah nan sayau itu.

"Kau mau membantuku untuk melupakannya, kan?" Dia bertanya dengan suara lembut.

Tatapannya makin sayu dan memohon. Entah hanya perasaanku saja, sinar matanya berubah. Sinar mata yang penuh cinta seperti yang sering ditunjukannya pada Maura. Tapi, sinar mata itu untukkukah kali ini?

Aku langsung mengangguk mengiyakan. Senyum yang tadi tersimpul di bibirnya kini berkembang. Apakah ini artinya dia akan kembali menjadi Theo-ku yang tersita oleh Maura selama enam bulan ini? Entahlah. Yang pasti perasaanku bahagia bercampur lega karena akhirnya dia takkan tersiksa lagi oleh Maura.

===

Akhir minggu ini kami berjanji akan mengunjungi sebuah perkebunan krisan di daerah pinggir kota. AKu bangun dengan perasaan suka cita. Mataku langsung terbuka begitu mengingat hari ini aku dan Theo akan pergi bersama lagi setelah beberapa bukan ini. Saat aku mandi mandi dengan air dingin, bukan dingin yang kurasakan, tapi perasaan nyaman. Saat matahari pagi yang menyilaukan memasuki kisi-kisi jendela kamarku dan langsung menerpa wajahku, bukan panas menyengat yang kurasa, namun perasaan hangat meluap-luap yang mengalir di tiap sendi-sendiku. Lebih dari setengah jam aku mematut diri di depan cermin, mencocokan baju yang akan kukenakan sebelum akhirnya memilih skinny jeans hitam dengan kemeja lengan pendek berwarna biru langit ditambah vest dari bahan flannel putih tulang.

Aku lalu duduk di beranda rumah dengan sesekali melitik jam tanganku. Pukul 09.00, Theo berjanji akan menjemputku. Aku tertawa-tawa sendiri membayangkan pergi dengannya kali ini seperti kencan saja. Ini memang bukanlah pertama kalinya aku pergi berdua dengannya, tapi perasaanku kali ini benar-benar berbeda. Apakah mungkin karena sinar matanya yang penuh cinta saat di taman waktu itu?

Perasaanku mulai gelisah. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh pagi, tapi belum ada tanda-tanda Theo akan muncul. Tidak biasanya dia seperti ini karena dia tipe orang yang selalu tepat waktu. Perasaan dan pikiranku mulai memikirkan hal-hal aneh. Ingin aku menelponnya, tapi perasaanku menggerakan langkahku menuju rumahnya. Perasaan gelisah itu semakin menjadi ketika di depan rumahnya aku melihat sebuah mobil yang tak asing lagi. Aku kenal mobil ini. Bukankah ini mobil yang selalu mengantarkan Maura ke sekolah?

Aku bergegas masuk ke halaman dan ketika aku melihat pemandangan di depanku, perasaanku benar-benar hancur. Seribu pedan secara bersamaan menancap ke jantungku, berusaha membunuhku perlahan. Hatiku terobek oleh taring iblis yang menjelma menjadi dewa. Kakiku goyah, aku merasa tak lagi menapak tanah. Langit tiba-tiba saja runtuh karena tiang-tiangnya telah rapuh oleh jaman. Dunia telah menjungkirbalikanku dalam sekejap saja.

Perasaan bahagiaku ternyata amat semu. Aku hanya bisa mematung dan melihat semuanya di tengah halaman seperti orang bodoh. Theo sedang memeluk Maura. Entah sudah berapa lama mereka melakukan itu. Mereka tak menyadari kehadiranku sampai sebuah ranting kering dari pohon mangga tak sengaja kuinjak. Theo menoleh dan langsung melepaskan pelukannya. Dia terkejut melihatku. Sesaat dia hanya diam dengan dahi berkerut.

"Chrys...?" ujarnya pelan. "Kenapa kau ada di sini?" tanyanya bingung.

Aku tak menjawab karena terlalu shock. Aku menggeleng pelan tak percaya. Apa dia telah lupa dengan janji kami akan pergi ke perkebunan krisan? Kenapa dia bersama Maura?

"Kemana pula kau seminggu terakhir ini? Tak menghubungiku sama sekali?"

Aku bingung dengan perkataan Theo. Seminggu apa? Bukankah kemarin aku masih bertemu dengannya? Kenapa dia bertanya kemana aku selama seminggu ini?

"Aku ingin memberikanmu kabar baik." Theo sama sekali tak menghiraukan perubahan sikapku. Dia merangkul Maura dan tersenyum lebar. "Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan."

Dia melirik Maura di sampingnya yang tersenyum dengan manis. "Iya, kan?"

Maura mengangguk dan membalas rangkulan Theo.

Aku benar-benar bingung. Bukankah Theo telah berjanji untuk melupakan Maura? Dan sinar matanya waktu itu? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Tiba-tiba kepalaku sakit. Rasanya berdenging seperti ribuan lebah yang berputar-putar di dalam kepalaku. Sekelebatan ingatan-ingatan di taman waktu itu muncul satu persatu bagai film lama yang terputar kembali. Aku melihat Theo duduk di taman waktu itu, tapi tidak denganku melainkan bersama seseorang yang lain. Seorang perempuan berambut panjang ikal kecoklatan, Maura.

Kepalaku benar-benar sakit. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Perempuan itu bukan aku, tapi Maura. Ternyata aku mendapati diriku sendiri di balik sebuah pohon akasia jauh dari danau itu. Apa ini? Khayalan apa ini? Mana yang harus aku percaya? Memori di taman saat Theo menatapku dengan sinar penuh cinta itukah? Atau pemandanganku saat ini bahwa Theo dan Maura sedang berangkulan? Atau jangan-jangan saat ini aku sedang bermimpi.

Aku memejamkan mata berharap ini hanya ilusi, hanya mimpi buruk. Dan saat aku membuka mata nanti aku mendapati diriku berada di atas ranjangku. Tapi saat aku membuka mata, rasa ngilu yang luar biasa merambati tubuhku yang rasanya benar-benar hancur. Aku merasakan darah mengucur dari mulut, hidung dan telingaku. Sayup-sayup aku mendengar suara minta tolong dan aku melihat cahaya putih menyilaukan itu dalam terowongan di depan mataku. Lalu perlahan terowongan itu gelap. Benar-benar gelap hingga aku tak merasakan tubuhku lagi. Gelap....

*End*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger